Green
Architecture atau sering
disebut sebagai Arsitektur Hijau
adalah arsitektur yang minim mengonsumsi
sumber daya alam, termasuk energi, air, dan material, serta minim menimbulkan
dampak negatif bagi lingkungan.
Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan
yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada
kesehatan manusia dan lingkungan.
Arsitektur hijau merupakan
langkah untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan
perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Istilah keberlanjutan
menjadi sangat populer ketika mantan Perdana Menteri Norwegia GH Bruntland
memformulasikan pengertian Pembangunan
Berkelanjutan (sustaineble development) tahun 1987 sebagai
pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia masa kini tanpa mengorbankan
potensi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Keberlanjutan terkait dengan aspek lingkungan alami
dan buatan, penggunaan energi, ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan.
Penerapan arsitektur hijau akan
memberi peluang besar terhadap kehidupan manusia secara berkelanjutan.
Aplikasui arsitektur hijau akan
menciptakan suatu bentuk arsitektur
yang berkelanjutan.
Untuk
pemahaman dasar arsitektur hijau yang berkelanjutan, meliputi di antaranya
lansekap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan. Dalam contoh
kecil, arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar lingkungan kita.
Misalnya, dalam perhitungan
kasar, jika luas rumah adalah 100 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk
bangunan adalah 60 meter persegi, maka sisa 40 meter persegi lahan hijau, Jadi
komposisinya adalah 60:40. Selain itu membuat atap dan dinding menjadi konsep
roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam,
melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur
hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur
alami, dan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu,
arsitektur hijau diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air
dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan.
Arsitektur hijau juga dapat direncanakan melalui tata letak, konstruksi,
operasi dan pemeliharaan bangunan.
PENGELOLAAN AIR
Dalam
perencanaan sebuah bangunan, seorang arsitek selalu dihadapkan pada masalah
pengolahan air. Air hujan adalah salah satu yang perlu manajemen yang baik
supaya tidak mengganggu kenyamanan hidup kita. Air hujan jamaknya dialirkan
melalui saluran-saluran (vertikal maupun horizontal) yang ada di dalam lahan
sebelum diteruskan ke sistem drainase kota. Pengaliran dengan mengandalkan
sistem drainae kota ini terbukti sudah tidak efektif dalam mengelola air hujan.
Banjir besar
di Jakarta tahun 2002 dan 2007 adalah bukti betapa lemahnya sistem drainase
kota menghadapi air hujan. Terlepas dari tingginya curah hujan, sistem drainae
kebanyakan kota di Indonesia memang sudah tidak memadai karena semrawutnya tata
ruang. Selain itu, kebiasaan hidup masyarakat membuang sampah ke sungai dan
tinggal di bantaran kali juga menyebabkan kurang berartinya sistem drainase
dalam menghadapi limpahan air hujan.
Salah satu
alternatif pengolahan air hujan adalah menggunakan lubang resapan biopori
ditemukan oleh Ir. Kamir R. Brata, Msc, seorang Peneliti Institut Pertanian
Bogor (IPB). Resapan biopori meningkatkan daya resapan air hujan dengan
memanfaatkan peran aktifitas fauna tanah dan akar tanaman.Lubang resapan
biopori adalah lubang silindris berdiameter 10-30 cm yang dibuat secara
vertikal ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar 100 cm. Dalam kasus tanah
dengan permukaan air tanah dangkal, lubang biopori dibuat tidak sampai melebihi
kedalaman muka air tanah. Lubang kemudian diisi dengan sampah organik untuk
memicu terbentuknya biopori.
Biopori
adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat oleh aktifitas
fauna tanah atau akar tanaman. Kehadiran terowongan/lubang-lubang biopori kecil
tersebut secara langsung akan menambah bidang resapan air. Sebagai contoh, bila
lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm, maka luas
bidang resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm² atau hampir 1/3 m².
Sementara,
suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula
mempunyai bidang resapan 78.5 cm² setelah dibuat lubang resapan biopori dengan
kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm². Lubang biopori
disebar dalam jarak tertentu sesuai dengan luas lahan yang hendak dicover.
Selain itu, biopori juga bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup
semen. Dibutuhkan dua sampai tiga kilogram sampah lapuk untuk sebuah lubang
biopori.
Agar orang
yang menginjaknya tidak terperosok, lubang ditutup dengan kawat jaring. Selain
memperbesar bidang resapan melalui aktivitas organisme tanah, lubang resapan
biopori juga memiliki dapat mengubah sampah organik menjadi kompos. Lubang
resapan biopori "diaktifkan" dengan memberikan sampah organik
didalamnya.
Sampah
inilah yang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan
kegiatan melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal
sebagai kompos. Melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori akan
berfungsi sekaligus sebagai "pabrik" pembuat kompos. Kompos dapat
dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk
organik pada berbagai jenis tanaman. Sampai saat ini belum ditemukan apa yang
menjadi kelemahan lubang biopori. Sampah organik yang ada pada lubang biopori
dirasa tidak akan mengganggu karena cepat diuraikan.
Sampah akan
sulit diuraikan jika lubang resapan terlalu besar dan tidak disebar. Karena itu
sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu tempat. Hasilnya itu juga
bisa dijadikan kompos. Memakai lubang resapan biopori adalah tampaknya
merupakan langkah yang bijak dalam merencanakan sebuah lingkungan binaan.
Arsitek sebagai perencana seyogyanya tidak hanya memikirkan kepentingan
bangunan yang dirancangannya, tetapi juga memikirkan bagaimana rancangannya itu
dapat mandiri dan tidak menambah beban sistem drainase kota.
Karena lahan
perkotaan telah telanjur disesaki bangunan, maka sasaran perolehan sel-sel
hijau daun beralih pada hamparan atap datar gedung-gedung yang justru lebih
banyak dibanjiri cahaya matahari. Sebenarnya gerakan atap hijau telah muncul di
Jepang sejak awal abad ke-20 melalui konsep eco-roof, tetapi sifat
pengembangannya masih ekstensif.
Atap hijau
jenis ini ditandai struktur atap beton konvensional dengan biaya dan perawatan
taman relatif murah karena penghijauan atap hanya mengandalkan tanaman perdu
dengan lapisan tanah tipis. Ketika Jepang semakin ketat menjaga lingkungan
melalui pemberlakuan berbagai tolok ukur bangunan ramah lingkungan, para
perancang mulai berpacu mencari solusi cerdas dalam memanfaatkan bidang datar
atap bangunan.
Salah
satunya adalah intensifikasi taman atap, atau upaya memadukan sistem bangunan
dengan sistem penghijauan atap sehingga dapat diciptakan taman melayang (sky
garden). Berbeda dengan atap hijau ekstensif yang hanya menghasilkan taman
pasif, atap hijau intensif dapat berperan sebagai taman aktif sebagaimana taman
di darat.
Dengan
lapisan tanah mencapai kedalaman hingga dua meter, atap hijau intensif mensyaratkan
struktur bangunan khusus dan perawatan tanaman cukup rumit. Jenis tanaman tidak
hanya sebatas tanaman perdu, tetapi juga pohon besar sehingga mampu
menghadirkan satu kesatuan ekosistem. Walaupun investasi yang dibutuhkan untuk
membuat atap hijau cukup tinggi, bukan berarti upaya peduli lingkungan ini
bertentangan dengan semangat mengejar keuntungan ekonomi, terbukti kini banyak
fasilitas komersial yang menerapkan konsep atap hijau intensif. Salah satu di
antaranya adalah Namba Park, sebuah mal gaya hidup di pusat kota Osaka.
Manfaat atap
hijau bukan hanya sebatas peningkatan nilai estetika dan penghematan energi,
pengurangan gas rumah kaca, peningkatan kesehatan, pemanfaatan air hujan, serta
penurunan insulasi panas, suara dan getaran, tetapi juga penyediaan wahana
titik temu arsitektur dengan jaringan biotop lokal. Perannya sebagai "batu
loncatan" menjembatani bangunan dengan habitat alam yang lebih luas
seperti taman kota atau area hijau kota lainnya
Contohnya:
ARSITEKTUR HIJAU DIRUMAH
Desain rumah
yang green architecture bisa diterapkan dirumah kita. Sebagai sebuah kesatuan
antara arsitektur bangunan rumah dan taman tentu harus selaras. Untuk
mendekatkan diri dengan alam, fungsi ruang dalam rumah ditarik keluar. Ruang
tamu di taman teras depan, ruang makan dan ruang keluarga ditarik ke taman
belakang atau ke taman samping, atau kamar mandi semi terbuka di taman samping.
Sebaliknya, fungsi ruang keluar menerus ke dalam ruang. Ruang tamu atau ruang
keluarga hingga dapur menyatu secara fisik dan visual. Rumah dan taman
mensyaratkan hemat bahan efisien, praktis, ringan, tapi kokoh dan berteknologi
tinggi, tanpa mengurangi kualitas bangunan.
Arsitektur
hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih
baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah
ruang sesuai kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat,
serta saluran air bersih. Keterbukaan ruang-ruang dalam rumah yang mengalir
dinamis. Ketinggian lantai yang cenderung rata sejajar, distribusi void-void,
pintu dan jendela tinggi lebar dari plafon hingga lantai dilengkapi jalusi
(krepyak), dinding transparan (kaca, glassblock, fiberglass, kerawang, batang
pohon), atap hijau (rumput) disertai skylight.
Penempatan
jendela, pintu, dan skylight bertujuan memasukkan cahaya dan udara secara
tepat, bersilangan, dan optimal pada seluruh ruangan. Keberadaan tanaman hidup
di ruang dalam atau di taman (void) berguna menjaga kestabilan suhu udara di
dalam tetap segar dan sejuk. Pintu dan jendela kaca selebar mungkin dan memakai
tembok dan kusen seminim mungkin menjadikan ruang terasa lega. Pintu dan
jendela bisa dibuka selebar-lebarnya. Lantai teras dan ruang dalam dibuat dari
material sama dan menerus rata (tidak ada beda ketinggian lantai) membuat
kesatuan ruang terasa luas dan menyatu dengan ruang luar di depannya.
Optimalisasi
void menciptakan sirkulasi pengudaraan dan pencahayaan alami yang sangat
membantu dalam penghematan energi. Desain void yang tepat dapat mengurangi ketergantungan
penerangan lampu listrik terutama di pagi hingga sore hari dan pemakaian kipas
angin atau pengondisi udara yang berlebihan. Void dalam bentuk taman (kering)
dapat berfungsi sebagai sumur resapan air. Persenyawaan bangunan dan taman
dalam konsep arsitektur hijau memiliki banyak keuntungan bagi rumah itu
sendiri, lingkungan sekitar, dan skala kota secara keseluruhan. Rumah sehat
memiliki sistem terbuka. Maka, setiap rumah yang dibangun berdasarkan konsep
arsitektur hijau dapat mengurangi krisis energi listrik dan BBM serta krisis
kualitas lingkungan
PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE
Penjabaran prinsi-prinsip green
architecture beserta langkah-langkah mendesain green building menurut: Brenda dan Robert Vale, 1991, Green
Architecture Design fo Sustainable Future:
1. Conserving Energy (Hemat Energi)
Sungguh sangat ideal apabila
menjalankan secara operasional suatu bangunan dengan sedikit mungkin
menggunakan sumber energi yang langka atau membutuhkan waktu yang lama untuk
menghasilkannya kembali. Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain bangunan harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat
beradaptasi dengan lingkungan bukan merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih
jelasnya dengan memanfaatkan potensi matahari sebagai sumber energi. Cara
mendesain bangunan agar hemat energi, antara lain:
1. Banguanan dibuat memanjang dan tipis
untuk memaksimalkan pencahayaan dan menghemat energi listrik.
2. Memanfaatkan energi matahari yang
terpancar dalam bentuk energi thermal sebagai sumber listrik dengan menggunakan
alat Photovoltaic yang diletakkan di atas atap. Sedangkan atap dibuat
miring dari atas ke bawah menuju dinding timur-barat atau sejalur dengan arah
peredaran matahari untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal.
3. Memasang lampu listrik hanya pada
bagian yang intensitasnya rendah. Selain itu juga menggunakan alat kontrol
penguranganintensitas lampu otomatis sehingga lampu hanya memancarkan cahaya
sebanyak yang dibutuhkan sampai tingkat terang tertentu.
4. Menggunakan Sunscreen pada
jendela yang secara otomatis dapat mengatur intensitas cahaya dan energi panas
yang berlebihan masuk ke dalam ruangan.
5. Mengecat interior bangunan dengan
warna cerah tapi tidak menyilaukan, yang bertujuan untuk meningkatkan
intensitas cahaya.
6. Bangunan tidak menggunkan pemanas
buatan, semua pemanas dihasilkan oleh penghuni dan cahaya matahari yang masuk
melalui lubang ventilasi.
7. Meminimalkan penggunaan energi untuk
alat pendingin (AC) dan lift.
2. Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)
Melalui pendekatan green architecture bangunan
beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi
alam, iklim dan lingkungannya sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian
bangunan, misalnya dengan cara:
1. Orientasi bangunan terhadap sinar
matahari.
2. Menggunakan sistem air pump dan cros
ventilation untuk mendistribusikan udara yang bersih dan sejuk ke dalam
ruangan.
3. Menggunakan tumbuhan dan air sebagai
pengatur iklim. Misalnya dengan membuat kolam air di sekitar bangunan.
4. Menggunakan jendela dan atap yang
sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk mendapatkan cahaya dan penghawaan yang
sesuai kebutuhan.
3. Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)
Perencanaan mengacu pada interaksi
antara bangunan dan tapaknya. Hal ini dimaksudkan keberadan bangunan baik dari
segi konstruksi, bentuk dan pengoperasiannya tidak merusak lingkungan sekitar,
dengan cara sebagai berikut.
1. Mempertahankan kondisi tapak dengan
membuat desain yang mengikuti bentuk tapak yang ada.
2. Luas permukaan dasar bangunan yang
kecil, yaitu pertimbangan mendesain bangunan secara vertikal.
3. Menggunakan material lokal dan
material yang tidak merusak lingkungan.
4. Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)
Antara pemakai dan green architecture mempunyai
keterkaitan yang sangat erat. Kebutuhan akan green architecture harus
memperhatikan kondisi pemakai yang didirikan di dalam perencanaan dan
pengoperasiannya.
5. Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru)
Suatu bangunan seharusnya dirancang
mengoptimalkan material yang ada dengan meminimalkan penggunaan material baru,
dimana pada akhir umur bangunan dapat digunakan kembali unutk membentuk tatanan
arsitektur lainnya.
6. Holistic
Memiliki pengertian mendesain
bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas menjadi satu dalam proses
perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena
saling berhubungan satu sama lain. Tentu secar parsial akan lebih mudah
menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat
mengaplikasikan green architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi
yang ada di dalam site.
KONSEP
ARSITEKTUR HIJAU (GREEN ARCHITECTURE)
Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan
bangunan yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada
kesehatan manusia dan lingkungan. Sebagai pemahaman dasar dari arsitektur hijau
yang berkelanjutan, elemen-elemen yang terdapat didalamnya adalah lansekap,
interior, yang menjadi satu kesatuan dalam segi arsitekturnya. Dalam contoh kecil,
arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar lingkungan kita. Yang paling
ideal adalah menerapkan komposisi 60 : 40 antara bangunan rumah dan lahan
hijau, membuat atap dan dinding dengan konsep roof garden dan green wall.
Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman
merambat. Tujuan utama dari green architecture adalah menciptakan eco desain,
arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.
Arsitektur hijau juga dapat diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian
energi, air dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak bangunan terhadap
kesehatan. Perancangan Arsitektur hijau meliputi tata letak, konstruksi,
operasi dan pemeliharaan bangunan. Konsep ini sekarang mulai dikembangkan oleh
berbagai pihak menjadi Bangunan Hijau.
Sumber : http://gospoth.blogspot.com/
TAHAPAN PERANCANGAN
1. Konsep Desain
Konsep Desain berisi Mind Map, TOR, dan Statement |
2. Data Fisik dan Non Fisik
Berisi Site, Data Penghuni Rumah dan Kegiatan-kegiatannya |
3. Persyaratan dan Hubungan Ruang
4. Organisasi Ruang
5. Sirkulasi Ruang
6. Besaran Ruang
7. Analisis Site
Dalam Analisis Site berisi Analisis mengenai Kebisingan, Klimatologi, Aksesibilitas, dan View |
8. Zoning
9. Pendekatan Desain
Dalam Pendekatan Desain berisi Inovasi-inovasi Ramah Lingkungan yang nantinya akan diterapkan pada Desain Rumah |
0 komentar:
Posting Komentar