Jelisia Ariyanto

Visit me

Arsitektur UNNES

Sthapatya Veda

Architect

this is about my way and my study

Partner of Study and Work

it's all about my partner

Funny

Jelo

Jumat, 15 Mei 2015

Studio Perancangan Arsitektur 2





Green Architecture atau sering disebut sebagai Arsitektur Hijau adalah arsitektur yang minim mengonsumsi sumber daya alam, termasuk energi, air, dan material, serta minim menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan.
Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan.
Arsitektur hijau merupakan langkah untuk mempertahankan eksistensinya di muka bumi dengan cara meminimalkan perusakan alam dan lingkungan di mana mereka tinggal. Istilah keberlanjutan menjadi sangat populer ketika mantan Perdana Menteri Norwegia GH Bruntland memformulasikan pengertian Pembangunan Berkelanjutan (sustaineble development) tahun 1987 sebagai pembangunan yang dapat memenuhi kebutuhan manusia masa kini tanpa mengorbankan potensi generasi mendatang untuk memenuhi kebutuhan mereka sendiri.
Keberlanjutan terkait dengan aspek lingkungan alami dan buatan, penggunaan energi, ekonomi, sosial, budaya, dan kelembagaan. Penerapan arsitektur hijau akan memberi peluang besar terhadap kehidupan manusia secara berkelanjutan. Aplikasui arsitektur hijau akan menciptakan suatu bentuk arsitektur yang berkelanjutan.
Untuk pemahaman dasar arsitektur hijau yang berkelanjutan, meliputi di antaranya lansekap, interior, dan segi arsitekturnya menjadi satu kesatuan. Dalam contoh kecil, arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar lingkungan kita.


Misalnya, dalam perhitungan kasar, jika luas rumah adalah 100 meter persegi, dengan pemakaian lahan untuk bangunan adalah 60 meter persegi, maka sisa 40 meter persegi lahan hijau, Jadi komposisinya adalah 60:40. Selain itu membuat atap dan dinding menjadi konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Selain itu, tujuan pokok arsitektur hijau adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan.
Selain itu, arsitektur hijau diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan. Arsitektur hijau juga dapat direncanakan melalui tata letak, konstruksi, operasi dan pemeliharaan bangunan.



PENGELOLAAN AIR
 
Dalam perencanaan sebuah bangunan, seorang arsitek selalu dihadapkan pada masalah pengolahan air. Air hujan adalah salah satu yang perlu manajemen yang baik supaya tidak mengganggu kenyamanan hidup kita. Air hujan jamaknya dialirkan melalui saluran-saluran (vertikal maupun horizontal) yang ada di dalam lahan sebelum diteruskan ke sistem drainase kota. Pengaliran dengan mengandalkan sistem drainae kota ini terbukti sudah tidak efektif dalam mengelola air hujan.
Banjir besar di Jakarta tahun 2002 dan 2007 adalah bukti betapa lemahnya sistem drainase kota menghadapi air hujan. Terlepas dari tingginya curah hujan, sistem drainae kebanyakan kota di Indonesia memang sudah tidak memadai karena semrawutnya tata ruang. Selain itu, kebiasaan hidup masyarakat membuang sampah ke sungai dan tinggal di bantaran kali juga menyebabkan kurang berartinya sistem drainase dalam menghadapi limpahan air hujan.
Salah satu alternatif pengolahan air hujan adalah menggunakan lubang resapan biopori ditemukan oleh Ir. Kamir R. Brata, Msc, seorang Peneliti Institut Pertanian Bogor (IPB). Resapan biopori meningkatkan daya resapan air hujan dengan memanfaatkan peran aktifitas fauna tanah dan akar tanaman.Lubang resapan biopori adalah lubang silindris berdiameter 10-30 cm yang dibuat secara vertikal ke dalam tanah dengan kedalaman sekitar 100 cm. Dalam kasus tanah dengan permukaan air tanah dangkal, lubang biopori dibuat tidak sampai melebihi kedalaman muka air tanah. Lubang kemudian diisi dengan sampah organik untuk memicu terbentuknya biopori.
Biopori adalah pori-pori berbentuk lubang (terowongan kecil) yang dibuat oleh aktifitas fauna tanah atau akar tanaman. Kehadiran terowongan/lubang-lubang biopori kecil tersebut secara langsung akan menambah bidang resapan air. Sebagai contoh, bila lubang dibuat dengan diameter 10 cm dan dengan kedalaman 100 cm, maka luas bidang resapan akan bertambah sebanyak 3140 cm² atau hampir 1/3 m².
Sementara, suatu permukaan tanah berbentuk lingkaran dengan diamater 10 cm, yang semula mempunyai bidang resapan 78.5 cm² setelah dibuat lubang resapan biopori dengan kedalaman 100 cm, luas bidang resapannya menjadi 3.218 cm². Lubang biopori disebar dalam jarak tertentu sesuai dengan luas lahan yang hendak dicover. Selain itu, biopori juga bisa diterapkan diselokan yang seluruhnya tertutup semen. Dibutuhkan dua sampai tiga kilogram sampah lapuk untuk sebuah lubang biopori.
Agar orang yang menginjaknya tidak terperosok, lubang ditutup dengan kawat jaring. Selain memperbesar bidang resapan melalui aktivitas organisme tanah, lubang resapan biopori juga memiliki dapat mengubah sampah organik menjadi kompos. Lubang resapan biopori "diaktifkan" dengan memberikan sampah organik didalamnya.
Sampah inilah yang akan menjadi sumber energi bagi organisme tanah untuk melakukan kegiatan melalui proses dekomposisi. Sampah yang telah didekompoisi ini dikenal sebagai kompos. Melalui proses seperti itu maka lubang resapan biopori akan berfungsi sekaligus sebagai "pabrik" pembuat kompos. Kompos dapat dipanen pada setiap periode tertentu dan dapat dimanfaatkan sebagai pupuk organik pada berbagai jenis tanaman. Sampai saat ini belum ditemukan apa yang menjadi kelemahan lubang biopori. Sampah organik yang ada pada lubang biopori dirasa tidak akan mengganggu karena cepat diuraikan.
Sampah akan sulit diuraikan jika lubang resapan terlalu besar dan tidak disebar. Karena itu sampah harus disebarkan, jangan hanya berada disatu tempat. Hasilnya itu juga bisa dijadikan kompos. Memakai lubang resapan biopori adalah tampaknya merupakan langkah yang bijak dalam merencanakan sebuah lingkungan binaan. Arsitek sebagai perencana seyogyanya tidak hanya memikirkan kepentingan bangunan yang dirancangannya, tetapi juga memikirkan bagaimana rancangannya itu dapat mandiri dan tidak menambah beban sistem drainase kota.
Karena lahan perkotaan telah telanjur disesaki bangunan, maka sasaran perolehan sel-sel hijau daun beralih pada hamparan atap datar gedung-gedung yang justru lebih banyak dibanjiri cahaya matahari. Sebenarnya gerakan atap hijau telah muncul di Jepang sejak awal abad ke-20 melalui konsep eco-roof, tetapi sifat pengembangannya masih ekstensif.
Atap hijau jenis ini ditandai struktur atap beton konvensional dengan biaya dan perawatan taman relatif murah karena penghijauan atap hanya mengandalkan tanaman perdu dengan lapisan tanah tipis. Ketika Jepang semakin ketat menjaga lingkungan melalui pemberlakuan berbagai tolok ukur bangunan ramah lingkungan, para perancang mulai berpacu mencari solusi cerdas dalam memanfaatkan bidang datar atap bangunan.
Salah satunya adalah intensifikasi taman atap, atau upaya memadukan sistem bangunan dengan sistem penghijauan atap sehingga dapat diciptakan taman melayang (sky garden). Berbeda dengan atap hijau ekstensif yang hanya menghasilkan taman pasif, atap hijau intensif dapat berperan sebagai taman aktif sebagaimana taman di darat.
Dengan lapisan tanah mencapai kedalaman hingga dua meter, atap hijau intensif mensyaratkan struktur bangunan khusus dan perawatan tanaman cukup rumit. Jenis tanaman tidak hanya sebatas tanaman perdu, tetapi juga pohon besar sehingga mampu menghadirkan satu kesatuan ekosistem. Walaupun investasi yang dibutuhkan untuk membuat atap hijau cukup tinggi, bukan berarti upaya peduli lingkungan ini bertentangan dengan semangat mengejar keuntungan ekonomi, terbukti kini banyak fasilitas komersial yang menerapkan konsep atap hijau intensif. Salah satu di antaranya adalah Namba Park, sebuah mal gaya hidup di pusat kota Osaka.
Manfaat atap hijau bukan hanya sebatas peningkatan nilai estetika dan penghematan energi, pengurangan gas rumah kaca, peningkatan kesehatan, pemanfaatan air hujan, serta penurunan insulasi panas, suara dan getaran, tetapi juga penyediaan wahana titik temu arsitektur dengan jaringan biotop lokal. Perannya sebagai "batu loncatan" menjembatani bangunan dengan habitat alam yang lebih luas seperti taman kota atau area hijau kota lainnya

Contohnya:

ARSITEKTUR HIJAU DIRUMAH
Desain rumah yang green architecture bisa diterapkan dirumah kita. Sebagai sebuah kesatuan antara arsitektur bangunan rumah dan taman tentu harus selaras. Untuk mendekatkan diri dengan alam, fungsi ruang dalam rumah ditarik keluar. Ruang tamu di taman teras depan, ruang makan dan ruang keluarga ditarik ke taman belakang atau ke taman samping, atau kamar mandi semi terbuka di taman samping. Sebaliknya, fungsi ruang keluar menerus ke dalam ruang. Ruang tamu atau ruang keluarga hingga dapur menyatu secara fisik dan visual. Rumah dan taman mensyaratkan hemat bahan efisien, praktis, ringan, tapi kokoh dan berteknologi tinggi, tanpa mengurangi kualitas bangunan.
Arsitektur hijau mensyaratkan dekorasi dan perabotan tidak perlu berlebihan, saniter lebih baik, dapur bersih, desain hemat energi, kemudahan air bersih, luas dan jumlah ruang sesuai kebutuhan, bahan bangunan berkualitas dan konstruksi lebih kuat, serta saluran air bersih. Keterbukaan ruang-ruang dalam rumah yang mengalir dinamis. Ketinggian lantai yang cenderung rata sejajar, distribusi void-void, pintu dan jendela tinggi lebar dari plafon hingga lantai dilengkapi jalusi (krepyak), dinding transparan (kaca, glassblock, fiberglass, kerawang, batang pohon), atap hijau (rumput) disertai skylight.
Penempatan jendela, pintu, dan skylight bertujuan memasukkan cahaya dan udara secara tepat, bersilangan, dan optimal pada seluruh ruangan. Keberadaan tanaman hidup di ruang dalam atau di taman (void) berguna menjaga kestabilan suhu udara di dalam tetap segar dan sejuk. Pintu dan jendela kaca selebar mungkin dan memakai tembok dan kusen seminim mungkin menjadikan ruang terasa lega. Pintu dan jendela bisa dibuka selebar-lebarnya. Lantai teras dan ruang dalam dibuat dari material sama dan menerus rata (tidak ada beda ketinggian lantai) membuat kesatuan ruang terasa luas dan menyatu dengan ruang luar di depannya.
Optimalisasi void menciptakan sirkulasi pengudaraan dan pencahayaan alami yang sangat membantu dalam penghematan energi. Desain void yang tepat dapat mengurangi ketergantungan penerangan lampu listrik terutama di pagi hingga sore hari dan pemakaian kipas angin atau pengondisi udara yang berlebihan. Void dalam bentuk taman (kering) dapat berfungsi sebagai sumur resapan air. Persenyawaan bangunan dan taman dalam konsep arsitektur hijau memiliki banyak keuntungan bagi rumah itu sendiri, lingkungan sekitar, dan skala kota secara keseluruhan. Rumah sehat memiliki sistem terbuka. Maka, setiap rumah yang dibangun berdasarkan konsep arsitektur hijau dapat mengurangi krisis energi listrik dan BBM serta krisis kualitas lingkungan

PRINSIP-PRINSIP GREEN ARCHITECTURE
Penjabaran prinsi-prinsip green architecture beserta langkah-langkah mendesain green building menurut: Brenda dan Robert Vale, 1991, Green Architecture Design fo Sustainable Future:

1.      Conserving Energy (Hemat Energi)
Sungguh sangat ideal apabila menjalankan secara operasional suatu bangunan dengan sedikit mungkin menggunakan sumber energi yang langka atau membutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkannya kembali. Solusi yang dapat mengatasinya adalah desain bangunan harus mampu memodifikasi iklim dan dibuat beradaptasi dengan lingkungan bukan merubah lingkungan yang sudah ada. Lebih jelasnya dengan memanfaatkan potensi matahari sebagai sumber energi. Cara mendesain bangunan agar hemat energi, antara lain:
1. Banguanan dibuat memanjang dan tipis untuk memaksimalkan pencahayaan dan menghemat energi listrik.
2.  Memanfaatkan energi matahari yang terpancar dalam bentuk energi thermal sebagai sumber listrik dengan menggunakan alat Photovoltaic yang diletakkan di atas atap. Sedangkan atap dibuat miring dari atas ke bawah menuju dinding timur-barat atau sejalur dengan arah peredaran matahari untuk mendapatkan sinar matahari yang maksimal.
3.   Memasang lampu listrik hanya pada bagian yang intensitasnya rendah. Selain itu juga menggunakan alat kontrol penguranganintensitas lampu otomatis sehingga lampu hanya memancarkan cahaya sebanyak yang dibutuhkan sampai tingkat terang tertentu.
4.   Menggunakan Sunscreen pada jendela yang secara otomatis dapat mengatur intensitas cahaya dan energi panas yang berlebihan masuk ke dalam ruangan.
5.     Mengecat interior bangunan dengan warna cerah tapi tidak menyilaukan, yang bertujuan untuk meningkatkan intensitas cahaya.
6.     Bangunan tidak menggunkan pemanas buatan, semua pemanas dihasilkan oleh penghuni dan cahaya matahari yang masuk melalui lubang ventilasi.
7.      Meminimalkan penggunaan energi untuk alat pendingin (AC) dan lift.
2.      Working with Climate (Memanfaatkan kondisi dan sumber energi alami)
Melalui pendekatan green architecture bangunan beradaptasi dengan lingkungannya. Hal ini dilakukan dengan memanfaatkan kondisi alam, iklim dan lingkungannya sekitar ke dalam bentuk serta pengoperasian bangunan, misalnya dengan cara:
1.      Orientasi bangunan terhadap sinar matahari.
2.      Menggunakan sistem air pump dan cros ventilation untuk mendistribusikan udara yang bersih dan sejuk ke dalam ruangan.
3.      Menggunakan tumbuhan dan air sebagai pengatur iklim. Misalnya dengan membuat kolam air di sekitar bangunan.
4.      Menggunakan jendela dan atap yang sebagian bisa dibuka dan ditutup untuk mendapatkan cahaya dan penghawaan yang sesuai kebutuhan.
3.      Respect for Site (Menanggapi keadaan tapak pada bangunan)
Perencanaan mengacu pada interaksi antara bangunan dan tapaknya. Hal ini dimaksudkan keberadan bangunan baik dari segi konstruksi, bentuk dan pengoperasiannya tidak merusak lingkungan sekitar, dengan cara sebagai berikut.
1.      Mempertahankan kondisi tapak dengan membuat desain yang mengikuti bentuk tapak yang ada.
2.      Luas permukaan dasar bangunan yang kecil, yaitu pertimbangan mendesain bangunan secara vertikal.
3.      Menggunakan material lokal dan material yang tidak merusak lingkungan.
4.      Respect for User (Memperhatikan pengguna bangunan)
Antara pemakai dan green architecture mempunyai keterkaitan yang sangat erat. Kebutuhan akan green architecture harus memperhatikan kondisi pemakai yang didirikan di dalam perencanaan dan pengoperasiannya.
5.      Limitting New Resources (Meminimalkan Sumber Daya Baru)
Suatu bangunan seharusnya dirancang mengoptimalkan material yang ada dengan meminimalkan penggunaan material baru, dimana pada akhir umur bangunan dapat digunakan kembali unutk membentuk tatanan arsitektur lainnya.
6.      Holistic
Memiliki pengertian mendesain bangunan dengan menerapkan 5 poin di atas menjadi satu dalam proses perancangan. Prinsip-prinsip green architecture pada dasarnya tidak dapat dipisahkan, karena saling berhubungan satu sama lain. Tentu secar parsial akan lebih mudah menerapkan prinsip-prinsip tersebut. Oleh karena itu, sebanyak mungkin dapat mengaplikasikan green architecture yang ada secara keseluruhan sesuai potensi yang ada di dalam site.


KONSEP ARSITEKTUR HIJAU (GREEN ARCHITECTURE)

Arsitektur hijau adalah suatu pendekatan perencanaan bangunan yang berusaha untuk meminimalisasi berbagai pengaruh membahayakan pada kesehatan manusia dan lingkungan. Sebagai pemahaman dasar dari arsitektur hijau yang berkelanjutan, elemen-elemen yang terdapat didalamnya adalah lansekap, interior, yang menjadi satu kesatuan dalam segi arsitekturnya. Dalam contoh kecil, arsitektur hijau bisa juga diterapkan di sekitar lingkungan kita. Yang paling ideal adalah menerapkan komposisi 60 : 40 antara bangunan rumah dan lahan hijau, membuat atap dan dinding dengan konsep roof garden dan green wall. Dinding bukan sekadar beton atau batu alam, melainkan dapat ditumbuhi tanaman merambat. Tujuan utama dari green architecture adalah menciptakan eco desain, arsitektur ramah lingkungan, arsitektur alami, dan pembangunan berkelanjutan. Arsitektur hijau juga dapat diterapkan dengan meningkatkan efisiensi pemakaian energi, air dan pemakaian bahan-bahan yang mereduksi dampak bangunan terhadap kesehatan. Perancangan Arsitektur hijau meliputi tata letak, konstruksi, operasi dan pemeliharaan bangunan. Konsep ini sekarang mulai dikembangkan oleh berbagai pihak menjadi Bangunan Hijau.

Sumber : http://gospoth.blogspot.com/



TAHAPAN PERANCANGAN


1. Konsep Desain
Konsep Desain berisi Mind Map, TOR, dan Statement 
 2. Data Fisik dan Non Fisik
Berisi Site, Data Penghuni Rumah dan Kegiatan-kegiatannya
3. Persyaratan dan Hubungan Ruang 

4. Organisasi Ruang

5. Sirkulasi Ruang

6. Besaran Ruang

  


7. Analisis Site
Dalam Analisis Site berisi Analisis mengenai Kebisingan, Klimatologi, Aksesibilitas, dan View
 8. Zoning

9. Pendekatan Desain

Dalam Pendekatan Desain berisi Inovasi-inovasi Ramah Lingkungan yang nantinya akan diterapkan pada Desain Rumah

Jumat, 08 Mei 2015

Mengenal lebih dekat Mario Botta


 
Mario Botta adalah tokoh arsitek pembaharu dan pendobrak mode Eropa yang lahir di Mendrisio Swiss tahun 1943, karya-karyanya seringkali dikaitkan dengan Post-Modernism.


Latar Belakang Budaya

Negara Swiss sebagai suatu negara asal Mario Botta merupakan suatu phenomena kultural tersendiri. Negara itu berdasar budaya dan bahasa "terbelah" menjadi dua kutub : Germany dan Roman (Italia dan Perancis). Dalam sejarah rancang bangunan, kedua geografi kultural itu tidak hanya berlainan posisi demografis, tetapi mengakar dan mewujud dalam representasi dan pernyataan gubahan bentuk. Swiss bagian utara mendapat aksen Germany yang sangaat kuat dengan arah dan orientasi yang kuat pada transformasi tradisional ke rasional, pengakuan individual dan industrial. Sementara di Selatan, corak bangunan sangat dipengaruhi oleh keragaman sumber yang kaya akan kemungkinan dan kebutuhan untuk mencari representasi kolektif tipologik.

Selatan Swiss lebih terbuka dan hangat secara sosial. Pada lanskap dan topografi bangunannya, Utara dan Selatan Swiss tidak mudah dapat dibedakan melalui suatu generalisasi. Sebab disana-sini terdapat banyak "interfaces" dan
kerangka dasar yang sama oleh sistem pendidikan (ETH Zurich dan Laussane) juga oleh Peraturan Bangunan (Building Codes); meskipun dari satu Kantoon ke yang lainnya ada beberapa perbedaan.

Bagi Sejarah Seni Bangunan, Swiss pada Abad ke 20 bukanlah negeri yang tidak dikenal sebagai panggung yang memikat pelajar dan praktisi rancang bangunan. Hannes Meyer (1889-1954) yang pernah memimpin Bauhaus yang terkenal itu. merupakan putra Swiss. idea modern dalam seni bangunan masih merupakan tradisi tersendiri di Swiss. Kelanjutan tradisi modernistik dalam seni bangunan tidak menyurut, tetapi hingga kini berlanjut. Yang sangat menarik, Mario Botta berada pada posisi berkarya di antara kebutuhan dan pengaruh yang kuat: "Modernisme" dan "Historisme" khususnya dalam konteks warisan prinsip seni bangunan Palladian.Representasi yang kuat dari yang terakhir ini dipelopori oleh Bruno Reichlin dan Fabio Reinhart ; yang merupakan kolega dekat Mario Botta dalam apa yang kemudian dikenal sebagai Aliran Tessin. Corak bangunan Palladian memiliki kontinuitas yang kuat di Italia Utara termasuk Swiss; dari Palladio akhir Abad 16, dilanjutkan oleh Scamozi pada awal abad 17, kemudian Lord Burlington di Inggris pertengahan Abad ke 18, hingga puncaknya pada Durand di awal Abad ke 19. Dalam beberapa hal rancang bangun, Mario Botta sangat kuat menganut gubahan geometri abstrak
yang kuat sebagaimana para arsitek modern sejak 1920-an; khususnya Le Corbusier. Sekalipun demikian Botta tidaklah cenderung pada Eklektisme pada seni bangunan klasik seperti oleh Andrea Paladio pada Abad ke 16.

Dari Casa Cadenazzo hingga Casa Rotonda: Debut Botta

Pada awal masa kiprahnya sebagai arsitek, Mario Botta semula dikenal sebagai arsitek rumah tinggal. Botta membangun rumah-rumah tinggal di: Cadenazzo , Riva San Vitale dan Ligornetto. Setelah menamatkan pendidikan arsitektur di Milan dan Venezia, Botta melengkapi debutnya sebagai arsitek terkenal Eropa dengan Rumah Tinggal: Casa rotonda 1980-82 di Stabio. Tentang hunian, Botta punya idea tersendiri yang tampaknya bertentangan dengan Giorgio Grassi yang menuntut hubungan harmoni melalui suatu nilai kolektif suatu bentuk
diantara masyarakatnya. Sementara, Botta justru sebaliknya, mengundang suatu "interplay" antara luar dan dalam yang mampu menghasilkan suatu jalinan kerjasama melalui "redefinisi bentuk" yang sudah dikenal. Botta
tidak segan-segan memberi tempat pada keragaman tuntutan nilai dari perorangan dan eksperimen bentuk dengan tidak menafikan kepentingan kolektif untuk keseragaman dan rasionalitas.

Disain rumah hunian yang dimulainya sejak tahun 1961, merupakan suatu penjelajahan segala kemungkinan.Kesimpulan sementara yang diperolehnya ternyata tipologi hunian untuk keluarga tidak nampak lagi.
Botta tidak putus asa, namun terus mencari pendefinisian kembali unsur-unsur tradisional rancang bangunan. Idea Casa Rotunda merupakan gubahan yang sama sekali lain dan menggugah citra rasa historik . Bentuk cylindric yang dipilihnya untuk Casa Rotonda mengingatkan orang pada Menara Hunian Abad Pertengahan. Casa ini bukan hanya punya konteks historik pada daerah Tesin, tetapi sangat sensitif mengakomodasi iklimnya. Teriknya matahari ditanggulangi oleh dinding yang tegar dan masif, sementara pemandangan ke lembah Tesin dibuka dengan jendela dan teras yang optimum dengan komposisi yang dramatik.

Aliran Tessin dan Botta

Di dalam konteks seni bangunan kontemporer dunia dan khususnya Eropa, Mario Botta sendiri merupakan suatu pribadi yang kuat; tercermin dalam rancang bangunnya dengan gubahan variasi volume dan bidang geometrik .
Kekuatan rancang bangunan Botta cenderung pada permainan bidang dan kekuatan volume bentuk dan ruang yang pernah dieksploitasi oleh Le Corbusier, Louis I Khan dan Luigi Snozzi. Hal ini tidak mengherankan mengingat mereka pernah bertemu dan magang singkat. Pada le Corbusier, Botta pernah magang untuk membangun sebuah Rumah Sakit di Venezia . Pengaruh Corbusier nampak kuat pada penggunaan volume kantilever hanya nampak pada awal-awal kariernya; khususnya pada Rumah Tinggal di Stabio. Sementara pengaruh Kahn mempengaruhi banyak karyanya. Echo dari Gedung Parlemen Kahn di Dacca, Bangladesh terlihat pula pada Rumah Tinggal di Cadenazzo ; bukaan lingkaran besar yang kuat menjadi kharakter tersendiri yang memperkuat komposisi bentuk volumenya. Snozzi bersama dengan Ivano Gianola, Livio Vacchini, Bruno Reichlin, Fabio Reinhart dan Michael Adler dikenal sebagai tokoh-tokoh Tecinese School (l'Ecole tessinoise). Dalam geografi seni bangunan Eropa, Aliran ini kuat memperagakan rancangan kontekstual dengan citra rasa kesejarahan setempat. Morphologi kota dan tipologi bangunan menjadi bagian penting dari theori urbanism Aliran Tesini ini.

Di Eropa pada khususnya dan Dunia pada umumnya, Mario Botta adalah arsitek ujung tombak dari Swiss yang membawa citra budaya bangunan dengan estetika klasik yang enerjik. Pengalaman estetik yang ditawarkan oleh karya-karya Mario Botta kaya dengan informasi dan semacam "hubungan" ke karya-karya seni bangunan klasik seperti Alberti, Serlio dan Paladio. Sekalipun demikian, karya-karya Botta tidak terjebak pada repetisi klise. Sebaliknya, kekuatan rancang bangunan Botta berbicara mengenai re-definisi sejarah lebih melalui variasi bentuk geometri yang kuat dengan pengulangan pola tebal pada bidang-bidangnya. Semua merujuk
pada keutuhan komposisi dialokl antara keras-lembut, padat-tranparan dst.

Katedral Evry: Urbanisme Botta

rancang bangunan Mario Botta membuka bidang-bidang dinding melalui bentuk dasar geometri yang kuat. Salah satunya, Botha mengolah bukaan-bukaan yang dramatik dan kuat.
Botta dalam merancang tidak menampakkan lelah bereksperimen dengan bahan bahan yang sangat dikuasainya dengan baik : "pola batu bata". Kekayaan pengalaman estetik yang dihasilkan oleh karya-karya Mario Botta terbangun oleh kekuatan pribadi rancangan yang tidak kompromistik. Dinding yang tegas tak berjendela atau bukaan yang dramatik oleh komposisi bidang yang kontras merupakan contoh-contoh bagaimana pernyataan rancang bangun tampil ke publik.Karya Botha juga tak lepas dari kritik. Diantaranya (yang paling keras) berasal dari Nold Egenter, seorang antropolog Swiss, yang dengan sengit mengkritik Museum San FranciscoMuseum of Modern Art; karena berskala gigantik dan tidak ramah mengakomodasi ruang publik untuk masyarakat.